
Novel Kebangkitan Harvey York Bab 2471 – 2472 dalam bahasa Indonesia. Menyadur novel serial berbahasa China dengan judul “Menantu Agung Ye Hao“.
Harvey York’s Rise to Power Chapter / Kekuatan Harvey York untuk Bangkit Bab 2471 – 2472.
Bab 2471
Ekspresi Harvey tampak tenang, bahkan nyaris acuh tak acuh. Namun, tubuhnya masih bergoyang, menunjukkan betapa sengitnya pertarungan yang baru saja ia lalui.
Di saat-saat paling genting, ia berhasil menghindari deretan peluru timah yang menghujan, membuat wajah Dom berubah drastis dalam sekejap.
Tanpa ragu, Dom melangkah mundur. Dengan panik, ia menarik pelatuk senjatanya sekali lagi—namun kali ini hanya terdengar bunyi ‘klik’. Pelurunya macet.
Wajah Dom seketika memucat, serupa kertas yang kehilangan warna. Ia tahu, kesempatan terbaik untuk menyingkirkan Harvey telah lenyap dari genggamannya.
Harvey sudah berada tepat di hadapannya. Tanpa basa-basi, dia melayangkan satu pukulan.
Meski terlihat biasa, Dom dapat merasakan niat membunuh yang begitu pekat terselip dalam gerakan itu, menguar seperti angin maut yang tak bisa dihindari. Dunia seakan menyempit, menyisakan hanya satu serangan terakhir yang menyapu semua kemungkinan melarikan diri.
Dalam kepanikan, Dom hanya mampu mengangkat senjata di tangannya, mencoba menahan serangan tersebut dengan gerakan refleks.
Baam!
Tinju Harvey menghantam keras senjata api itu. Suara dentumannya bergema, mengguncang tubuh Dom hingga ia terhuyung ke belakang. Tubuhnya bergetar hebat, nyaris kehilangan kendali.
Namun Harvey tidak berhenti di situ. Ia mengubah tinjunya menjadi telapak, dan tanpa jeda, menampar wajah Dom.
Plaak!
Tamparan itu telak. Tubuh Dom terlempar ke samping seperti boneka tak bernyawa. Darah memuncrat dari mulutnya ketika ia menghantam tanah.
Ia berusaha bangkit. Namun saat baru setengah berdiri, ia merasakan ada kekuatan misterius menjalar dari dalam tubuhnya—liar, tak terkendali.
Kekuatan itu membuatnya tak berdaya. Dalam kondisi tak sadar, lututnya kembali menyentuh tanah, memaksanya berlutut di hadapan Harvey.
Saat ini, Dom tampak seperti mayat hidup. Wajahnya sepucat kapur, dan tatapannya dipenuhi kesadaran yang menyakitkan. Dia tahu, mungkin dirinya telah bertemu dengan sosok legendaris yang selama ini hanya ia dengar lewat bisik-bisik dunia bawah tanah.
Sebelum ia sempat bertindak lebih jauh, Harvey kembali melangkah. Ia menendang Dom tanpa belas kasihan hingga tubuhnya ambruk, lalu menginjak kepalanya dengan kaki.
Dengan nada datar yang dingin, Harvey berkata, “Sekarang, bisakah kamu memberitahuku?”
“Siapa yang menyuruhmu datang?”
Kelopak mata Dom berkedut, begitu pula sudut bibirnya yang sedikit menggeliat.
Setelah beberapa detik terdiam, ia menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan suara berat, “Aku akan memberitahumu.”
* * *
Pukul delapan malam, Balai Nanyang di Hong Kong berdiri megah, menyala gemerlap seperti perhiasan di jantung malam. Hiruk-pikuk manusia, aroma kemewahan, dan gemuruh tawa berpadu menjadi simfoni kota yang tak pernah benar-benar tidur.
Meski lokasinya dekat dengan kawasan kelam Kota Kowloon, Balai Nanyang berdiri berbeda. Tempat ini memiliki aturan—aturan yang ditaati bahkan oleh para petinggi dunia bawah.
Di sinilah orang-orang bisa makan, minum, bersenang-senang, bahkan melakukan transaksi yang tak ingin diketahui dunia luar.
Pejabat tinggi dari Asia Tenggara, taipan-taipan kaya dari kota, semua pernah menginjakkan kaki di sini. Bukan hanya karena keamanannya, melainkan juga karena tempat ini menjadi pusat informasi—pusat segala kemungkinan.
Di tengah kemegahan itu, Harvey, yang jarang memperhatikan penampilan, melangkah masuk tanpa menarik perhatian. Wajah-wajah yang tengah larut dalam kesenangan tak menyadari kehadirannya.
Namun Harvey sendiri paham betul, ada banyak sosok berbahaya yang bersembunyi dalam bayang-bayang di tempat ini.
Mata mereka tajam, memindai setiap orang yang lewat, siap menyerang kapan saja. Tapi tak ada niat membunuh dalam pandangan mereka, halus dan tersamar. Hingga orang awam tak akan pernah menyadarinya.
Dengan langkah tenang, Harvey menelusuri lorong, pandangannya menyapu aula besar yang bergema kosong oleh langkah-langkahnya sendiri. Tanpa ragu, ia menaiki tangga menuju lantai delapan, tempat paling eksklusif dari Balai Nanyang.
Begitu tiba di sana, seorang pria Asia Selatan berpakaian serba hitam mendadak melangkah keluar, menghadang Harvey dengan ekspresi datar. Sorot matanya dingin.
“Lantai delapan adalah area utama Aula Serikat Nanyang,” katanya. “Tak seorang pun boleh naik tanpa izin. Jika nekat, kamu akan dihajar tanpa ampun.”
Nada suaranya datar, tetapi terselip ancaman halus. Jika Harvey melakukan sedikit saja gerakan mencurigakan, pria ini akan berubah menjadi algojo tanpa ragu.
Harvey menanggapinya dengan senyuman ringan. Ia tak berkata sepatah kata pun. Langkahnya tetap berlanjut.
Shua…!
Tatapan pria itu menyipit. Dalam sekejap, sebilah pedang muncul di tangannya—dingin, berkilau. Tanpa aba-aba, ia langsung menebaskannya ke arah Harvey dengan kecepatan dan kekuatan mematikan.
Bab 2472
Dentang!
Dengan satu jentikan jari, suara nyaring menggema. Dalam sekejap, telapak tangan pria Nanyang itu bergetar hebat. Pedang yang semula tergenggam mantap di tangannya, terlepas dan terlempar ke udara, lalu menancap tajam ke langit-langit. Ujungnya terus bergetar, menyisakan gema yang menggetarkan suasana.
Tatapan pria Nanyang itu dipenuhi ketidakpercayaan.
Tanpa ragu, dia segera mengganti posisi tangannya dan meluncurkan serangkaian pukulan berat ke arah Harvey.
Tinju Nanyang Selatan.
Meski tidak seganas teknik tinju Thailand dari Siam, gaya ini tetap mematikan, penuh kekuatan dan presisi.
Sayangnya, lawannya kali ini adalah Harvey.
Tanpa menunjukkan kekhawatiran sedikit pun, Harvey hanya mundur setengah langkah. Ekspresinya tetap tenang, bahkan nyaris acuh. Ia lalu meraih sebuah vas hias di koridor dan menghantamkannya langsung ke kepala si pria Nanyang.
Baam!
Vas itu pecah di kepala lawannya, menimbulkan suara keras disertai semburan darah. Tubuh pria itu terhuyung mundur, kehilangan keseimbangan.
Sebelum sempat memulihkan diri, sebuah tendangan Harvey menghantam tubuhnya, menjatuhkannya ke lantai dengan keras.
Engah!
Seketika, darah menyembur dari mulut pria Nanyang tersebut. Wajahnya yang semula garang berubah pucat pasi, menunjukkan rasa sakit luar biasa.
Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya tak mampu merespons. Otot-ototnya seolah tak lagi bisa digerakkan.
Harvey melangkah mendekat, tatapannya dingin namun tetap tenang. “Beristirahatlah sejenak dan jangan banyak bergerak sebelum setengah jam berlalu,” ucapnya datar. “Kalau tidak, tubuhmu tak akan berguna lagi.”
Tanpa menunggu respons, Harvey maju dan menendang pintu kayu dari satu-satunya ruangan di hadapannya.
Namun, sebelum tendangannya mengenai, pintu kayu yang tampak mewah itu bergeser terbuka ke kedua sisi, seperti menyambut tamu yang telah lama dinanti.
Pandangan Harvey melebar.
Di dalam ruangan itu, duduk seorang wanita Nanyang bersanggul rapi dalam balutan cheongsam berwarna elegan. Sosok dan wajahnya lembut, sehalus batu giok yang dipahat dengan penuh kesabaran.
Ia duduk anggun di depan sebuah guzheng (kecapi Cina), jari-jarinya yang ramping menari perlahan di atas senar-senar, menghasilkan denting-denting nada yang memikat, menggema hingga ke dasar hati.
Ding—dong—dong…
Harvey bertepuk tangan pelan, lalu berseru dengan senyum menggoda, “Suara ini bisa terus terngiang di telinga sampai tiga hari.”
“Tapi, Bos Cobb,” lanjutnya santai, “aku sudah sampai di ambang pintu, dan kamu masih sempat bermain piano?”
“Haruskah saya menyebut Anda wanita yang tenang… atau terlalu percaya diri?”
Wanita itu hanya mengangkat kepalanya sedikit—gerakan sederhana, namun justru membuatnya tampak luar biasa memesona. Ada kelembutan yang menyihir dalam tatapannya, seolah mampu meluluhkan lawan tanpa berkata-kata.
Terlebih, cheongsam yang dikenakannya begitu pas membalut tubuh, menampilkan siluet indah yang mampu membuat siapa pun tertegun dalam kekaguman.
Dialah Katy Cobb, pemimpin Geng Nanyang. Sosok legendaris yang reputasinya di Hong Kong dan Makau sebanding dengan para bos besar Hongxing dalam dunia perjudian.
Saat Harvey muncul di hadapannya, ada seberkas kejutan yang melintas di mata Katy. Namun, ia segera menguasai dirinya, tak menampakkan banyak emosi. Ia hanya memandang Harvey dalam diam. Tatapannya tajam, penuh perhitungan.
Mata mereka saling bertemu dalam keheningan.
Aura dari dua kekuatan besar saling bersitegang. Seolah-olah dalam sekejap saja, jika salah satu menunjukkan kelemahan, yang lain tak akan ragu untuk menyerang.
Beberapa saat kemudian, Katy perlahan bangkit dari duduknya. Ia menarik napas pelan lalu berkata, “Guzheng ini adalah barang antik yang sangat langka. Aku mencarinya jauh-jauh ke Daxia dan membayar mahal untuk memilikinya.”
“Jika kita nanti mulai bertikai, kuharap kamu bisa menahan diri, Tuan York. Jangan hancurkan benda ini, ya?”
Kalimatnya terdengar ringan, seperti percakapan antar kenalan lama. Tapi terselip pesan tersembunyi yang menunjukkan betapa berharganya alat musik itu baginya.
Lebih dari itu, ucapannya juga seperti penegasan. Katy Cobb sepenuhnya mengidentifikasi dirinya dengan budaya Daxia, bukan sekadar pemimpin geng.
Harvey menatap wanita berkuasa itu dengan tatapan penuh minat. Ada segurat senyum geli di wajahnya. “Bos Cobb, aku datang bukan untuk berbasa-basi.”
“Aku datang malam ini hanya untuk menyampaikan tiga hal padamu.”
Saat Harvey berbicara, aroma harum samar menyeruak di udara, jelas aroma feminin yang menggoda indra. Hatinya sempat goyah sejenak, meski ia cepat menguasai diri.
Alisnya berkerut tipis.
Ia teringat pada legenda ilmu hitam dari Asia Selatan, tentang wanita yang menaklukkan pria lewat pesona dan cinta.
Tapi wanita ini gagal.
Semoga terhibur dengan cerita Novel Harvey York dan Mandy Zimmer (Ye Hao dan Zheng Man’er) Bab 2471 – 2472 gratis online.
Harvey York’s Rise to Power / The Supreme Harvey York / Kekuatan Harvey York untuk Bangkit Chapter bab 2471 – 2472.
Leave a Reply